Kunjungan SBY

Dua hari yang lalu saya sempat nonton headline news di Metro TV tentang kunjungan presiden SBY ke daerah Sulawesi. Disana diberitakan kunjungan Presiden membuat warga kembali repot, ini mungkin berhubungan dengan kunjungan sebelumnya yang membuat beterbangan atap rumah warga dikarenakan kuatnya hempasan angin helikopter yang dinaiki pak SBY.

Saya tidak tertarik membahas masalah apa tujuan dan yang dihasilkan akan kunjungan pak SBY tersebut, tapi saya lebih tertarik dengan apa yang dilakukan para pejabat daerah dalam menyambut kedatangan SBY yang menurut saya adalah kiat menutupi borok pejabat daerah. Lihat saja Bagaimana Pemerintah daerah melakukan pembagunan dadakan terhadapa jalan dan fasilitas umum, himbauan terhadap warganya untuk tidak melakukan ini itu, belum lagi polisi pamong praja yang yang alih profesi jadi tukang gembala dengan menangkapi Kambing dan Sapi yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, yang menurut saya lebih menyedihkan lagi adalah ibu-ibu PKK juga ikut berpatroli dan melakukan rahasia terhadap ibu-ibu rumah tangga yang menjemur pakaiannya di pekarangan rumah. (mungkin mau dibilang berbakti kepada suami kali ye ...)

Saya sempat berfikir bagaimana ya.. kalo pak SBY kunjungannya ke sala-satu desa di Musi-Rawas mungkin bisa ambil contoh di Kec. Ma Kelingi, saya jamin para pejabat disana akan kelimpungan saya berharap sih kunjungannya ke Desa Binjai, biar jalannya dibagusin gitu ..he he ..

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari kunjungan pak SBY ke daerah-daerah adalah tidak semuanya merepotkan warga, terbukti warga mala berdesak-desakan mau ketemu dengan SBY, nah kalau ada kegiatan-kegiatan yang sifatnya seperti yang saya bicarakan di atas, itu adalah tindakan atas inisiatif pemerintah daerah untuk menutupi kebobrokan mereka. So saya sangat berharap sekali jika pak SBY akan melakukan kunjungan ke daerah khususnya pedesaan. Melihat cara dan sikap pemerintah daerah saya yakin hal seperti ini akan membuat mereka terpacu dan akan jadi cambuk yang menyakitkan untuk melakukan pembenahan diri tapi itu tidak masalah selagi warga dapat merasakan dampaknya. Hal ini sedang saya lakukan dengan berbagai cara : Surat, E-Mail, SMS atau teman-teman yang yang dapat memberikan akses kesana, dan jika ada beberapa orang yang melakukan hal seperti ini saya yakin pak SBY mau melakukan kunjungan ke daerah kita.

Ayo.. ada yang mau ikutan kita undang SBY..

Thursday, March 29, 2007 | posted in | 0 comments [ More ]

Merengkuh Rembulan

Merengkuh Rembulan

Oleh Sugianto Thoha

(Email : sthoha@yahoo.com )


Saya sedang membaca dua buah buku silih berganti, yaitu La Tahzan (Jangan Bersedih) tuntunan untuk menjadi seorang insan yang berbahagia karangan Dr. Aid Abdullah al-Qarni dan Steps to the top karangan Zig Ziglar yang mengajarkan kiat-kiat menuju puncak.

Steps to the top:

Syahdan, gubernur Massachusetts sedang bejuang keras untuk memenangkan pencalonan gubernur untuk kedua kalinya. Ia kampanye sepanjang hari, tidak sempat makan siang dan terlambat datang pada acara bakar ayam bersama yang diselenggarakan oleh pendukungnya disebuah gereja.

Tatkala ia menyodorkan piring, perempuan tua yang berada diseberang meja menaruh sepotong ayam saja di piringnya. “Ma’af” katanya, “Bisa saya minta sepotong lagi?”.

“Tidak bisa pak, jatahnya hanya sepotong untuk setiap orang” jawab si perempuan tua sopan.

“Ibu tidak kenal saya” ia menekan. “Saya Christian Herter, Gubernur negara bagian ini”.

Perempuan tua itu menatap kedepan lalu berkata. “Dan saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ayam bakar ini” tegas dan berani sembari memerintahkan sang gubernur maju sebab banyak orang yang antri di belakang.

Sumatera Ekpres 5 Februari 06 H, Dulmukti Djaja menulis dalam Refleksi dengan judul ‘Warga Belanda tak takut polisi’, ia menceritakan tentang kecintaan warga negara Belanda terhadap kebersihan dan kepatuhan mereka terhadap hukum. Warga Belanda tidak takut kepada polisi berkumis tebal ataupun akar bahar hitam yang melingkar di lengan seperti disini, tetapi takut kepada hukum yang berlaku di negara itu.

Kedua hal tersebut diatas tidak ada hubungannya dengan karangan yang akan saya tulis dibawah ini, tetapi sangat menarik untuk dijadikan sebuah renungan.

Lagipula, saya kurang berminat untuk menulis topik yang terlalu berat. Saya lebih cenderung kepada yang manis-manis saja, yang tentunya disukai setiap orang.

Seperti yang satu ini;

Lokasi kejadian adalah desa Ninh Phuoc terletak dipinggir pantai di propinsi Khan Hoa Vietnam Selatan. Desa ini dahulunya sangat terisolir, baru saja terbuka beberapa tahun lalu semenjak berdirinya sebuah galangan kapal milik perusahaan Korea disitu. Kaum pria disini sangat ringan tangan, pemabuk dan berlaku kejam terhadap perempuan. Para pelaut yang singgah menjadi idola bagi gadis-gadis remaja. Tidak saja mereka royal dalam hal materi tapi juga berlaku baik terhadap gadis-gadis itu. Sedangkan para orang tua akan bangga kalau ada orang asing berkunjung kerumahnya. Suasananya kurang lebih seperti kalau ada ‘belando masuk dusun’ begitulah.

Tanah masih lembab, gerimis baru saja berhenti. Desiran angin malam berhembus lembut, kelopak-kelopak bunga yang sudah mekar terjatuh dari kuntumnya, sedangkan putik-putik yang masih kuncup tersuruk-suruk diantara ranting-ranting perdu yang saling bergesekan.

Kami baru saja keluar dari pintu gerbang galangan kapal. Bau makanan laut bakar memenuhi rongga hidung. Kami merunuti sumber bau yang menyengak itu. Sekitar seratus meter dari pintu galangan, berpuluh-puluh pedagang cangkungan memenuhi kiri kanan jalan yang menuju ke kampung dalam. Jualan mereka bermacam-macam, makanan kecil, minuman ringan hingga minuman keras. Bahkan perempuan-perempuan berdandan menor pun ada disitu. Mendapati suasana seperti ini, rombongan kami pun terpecah belah, berhamburan sesuai selera masing-masing. Ya, seperti persatuan tahi kambing lah, kompak di dalam cerai berai kalau sudah diluar.

“Selamat malam” sapa seorang gadis kecil dengan bahasa Inggeris yang kurang mengena. Aku membalasnya. “Silakan duduk” ia menunjuk kearah bangku-bangku plastik rendah yang ada di sekeliling bakul dagangan. Seorang perempuan setengah baya duduk dibelakang bakul itu, tangannya mengipas-ngipas sotong kering (cumi-cumi besar) di atas tungku arang di hadapannya. “Ibu ku” ia mengenalkan perempuan itu padaku. Kami bersalaman. “Hoa” ia menyebut namanya.

Hoa yang dalam bahasa Vietnam berarti bunga adalah gadis kecil yang baru gede, umurnya baru masuk tujuh belas tahun. Di pipi sebelah kirinya menempel sebuah tanda hitam selebar daun jeruk nipis. Dandanannya asal-asalan saja. Bersandal jepit, rambut di ikat kebelakang. Baju yang sama kadang ia pakai sampai dua tiga hari. Aku memaklumi saja hal itu, sebab ibunya adalah seorang janda yang tidak punya. Ayahnya meninggal ketika Hoa masih berusia tiga tahun. Mereka anak beranak mengais rezeki di pinggir galangan kapal itu.

Walaupun terkendala komunikasi aku ‘dekat’ dengan Hoa. Hampir setiap malam aku mencangkung di bakulnya, minum sebotol limun dan melahap selembar sotong bakar selebar telapak tangan. Kadang-kadang aku memberinya hadiah-hadiah kecil. Ia sering kali berlaku manja kepada diriku. Kata teman-teman Hoa menyukai aku. Tapi, aku tak mau berpikir hingga sejauh itu. Toh kuncup ini masih berbentuk putik. Aku lebih pantas menjadi pamannya.

Suatu hari, aku terserempak dengan kuntum yang sedang mekar, keindahan bunga ini agak sulit aku gambarkan. Tapi kira-kira begini, bibirnya adalah Desy Ratnasari yang sedang tersungging, matanya Meriam Bellina yang sedang mengerling. Bodynya Maudy Kusnaedy yang sedang berjinjit. Hidungnya...? Sorry mas, ada masalah sedikit, pas-pasan saja. Tapi seandainya hidung itu di permak, maka ia adalah Lin Ching Hsia yang baru bersolek.

Aura kecantikan memancar deras dari kulit halus gadis pemilik salon di desa Ninh Phuoc itu. Ia berkilau-kilau laksana matahari membakar sahara. Kenal dengan dirinya adalah sebuah prestige, maka perlombaan diantara teman-temanpun di mulai. Setiap hari ada saja yang gunting rambut, cuci muka, potong kuku dan sebagainya. Mau tahu siapa pemenangnya? Sudah tentu pengarangnya dong!.

Singkat cerita akupun ‘dekat’ dengan Huong yang dalam bahasa Vietnam berati wewangian di musim semi. Huong berumur sekitar dua puluh satu tahun lebih sedikit. Ia berpenampilan trendy seperti foto model di sampul majalah remaja, bahasa Inggerisnya baik dan mudah dimengerti. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Aku seakan berada disebuah taman yang luas, burung-burung bercicitan, air terjun mendesir-desir. Pohon apel berbaris rapi menaungi semak perdu dan bunga-bungaan alam berwarna-warni ditepian sungai yang mengalir dibawahnya. Buah-buahan seakan-akan memberikan diri mereka kepadaku. Tangkai-tangkai anggur, rambutan dan tandan pisang pang yang harum baunya menjulur-julur kedalam pondok tempat aku lesehan diatas permadani hijau, sembari minum dari cangkir-cangkir berwarna perak yang indah ukirannya. Seorang bidadari bermata bundar menuangkan minuman yang tidak memabukkan untuk ku. Bidadari itu lalu membawaku ke pinggir sungai. Mata kami tertangkap sebiji buah apel yang tersembul dibalik dedaunan. Warnanya berkilau, menggoda untuk dipetik Kami mendekati pohon. Seekor ular mendesis-desis keluar dari dalam tanah, ia membujuk kami supaya memetik buah yang ranum itu.

“Petiklah jangan ragu” kata si ular.

“Aku akan memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga petiklah apel itu” bujuk siular lagi.

Bidadari menjangkau dahan apel, ia bersiap-siap akan memetik.

Si ular mulai berhitung “satu....dua ..” tiba-tiba ia berhenti menghitung. Seorang lelaki India sekonyong-konyong tiba di tempat itu. Ia meniup serulingnya mengalunkan irama gangga. Serta merta kepala si ular bergoyang kekiri dan kekanan, tubuhnya meliuk-liuk seperti Inul. Bidadari kecewa sebab ular telah terlupa akan hitungan ketiga.

Aku terperanjat. Tangan ku menepis ke udara, Yusuf temanku yang mirip orang India menepuk pundak ku. “Mari pulang....” ia menggamit. Jam sebelas malam aku ketiduran di kursi selonjor di salon Huong.

‘Dekat’ dengan Huong berarti jauh dari Hoa, saking jauhnya sampai-sampai tidak terlintas lagi di dalam ingatan. Kata teman-teman Hoa mencari-cari aku. Ah! peduli amat sama anak kecil itu, pikir ku kala itu.

Peristiwa diatas terjadi kurang lebih empat tahun yang lalu, tatkala pertama kali barge kami melakukan perbaikan di galangan kapal Hyundai Vinashin yang terletak didesa Ninh Phuoc.

Sekarang kami kembali lagi ke desa Ninh Phuoc dalam rangka perombakan barge agar bisa memasang pipa bawah laut yang lebih besar diameternya. Aku menapak tilas. Orang-orang yang kukenal dulu masih ada disini, ada perubahan disana sini. Tapi kali ini aku lebih ‘dekat’ kepada Hoa dari pada Huong, bukan karena kuntum mekar itu sudah mulai layu ataupun putik yang kuncup ini sudah pun bersemi. Tetapi............

Hoa yang kukenal sekarang bukan lagi dia yang dulu. Dia bukan lagi gadis kecil yang berdiri dipinggir bakul dagangan ibunya. Hoa sekarang adalah pemilik dua buah warung yang ramai pengunjung di terminal bis karyawan. Ia seorang bos, beberapa orang gadis kecil bekerja untuknya. Penampilannya berubah 180 derajat, tidak kalah dengan gadis-gadis remaja yang berkeliaran di pusat perbelanjaan mewah di ibukota. Rambutnya yang berwarna hitam berkilau dibiarkan tergerai bebas di pundaknya. Tanda hitam dipipi sebelah kiri sudah tidak ada lagi, hanya barutan-barutan tipis bekas operasi tersisa disitu. Dia berpakaian modis dan trendy, jemarinya yang lembut menggenggam HP Samsung model terbaru. Aku takjub dan terpukau melihat perubahan drastis gadis yatim yang baru berusia dua puluh satu tahun ini.

“Kamu jahat.......!” sergah Hoa ketika kami bertemu kembali.

“Ya.....” aku mengakui. “Ma’af kan aku...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Dengan suara sember dan mata berkaca-kaca Hoa mengungkit masa silam. Kala itu, dia merasa malu dan terhina ketika aku meninggalkannya tanpa sebarang alasan. Bermalam-malam ia menangis di dalam gubuknya yang hanya diterangi pelita kecil. Dia marah kepada kepapaan dirinya, yang dia pikir karena itu aku meninggalkannya. Dia mencari aku untuk meminta penjelasan. Tapi pesan-pesannya ku anggap sebagai angin lalu saja. Kemilau kecantikan Huong telah membutakan matahatiku. Aku tidak cukup punya nurani untuk mendengar rintihan gadis kecil yang menemukan figur pelindung dalam diriku. Cintanya yang pertama telah kukandaskan pada gugusan karang tajam yang mencuat dari lubuk keangkuhanku.

Hoa melanjutkan. Dia semakin tak sanggup menatap matahari ketika dia tahu aku menjalin hubungan dengan Huong. Ibaratkan langit dan bumi, dia hanyalah sebuah pelataran kecil tempat menapak para dewata yang menaiki tangga langit untuk memuja keindahan nirwana. Huong mencangking diatas nirwana itu. Salonnya laris manis, koceknya tebal. Ia membeli make-up buatan luar negeri, perhiasan emas bertaburan di tubuhnya.

Hoa pernah berpikir untuk berbaur dengan gelombang, berselimutkan buih-buih dan menenggelamkan perasaan marah, malu, kecewa dan frustasi ke dasar lautan yang melambai-lambai kepadanya.

LA TAHZAN, jangan bersedih. Ibunya selalu menasihati Hoa. “Tahanlah amarah mu dan ma’afkan orang yang menyakitimu”. “Bangkitlah, tentangkan matamu kearah matahari. Bakar dendam mu dengan sinarnya”. “Berusahalah, kejar ketinggalan mu dari orang lain”. Hoa merebahkan diri dipangkuan ibunya. Nasihat-nasihat bernas dan belaian lembut sang ibu menyejukkan hatinya. “Nak...” sambungnya lagi “suatu hari kau akan melebihi Huong dalam segalanya”. Hoa mendongak menatap wajah ibu yang memeluknya. Ibunya meneruskan “sekarang kita memang miskin, tidak punya apa-apa. Tapi ada rezeki dibawah matahari dan ada pula dibawah rembulan”. Hoa menangkap makna yang dalam itu.

Hari-hari berlalu, Hoa mulai bangkit. Sekolah dipagi hari, membantu ibu jualan di sore hingga malam hari. Dia tidak menyia-nyiakan waktunya sedikitpun. Tidak pula dia membelanjakan uangnya sembarangan. Ada keuntungan dia gunakan untuk memperbesar modal bakul ibunya. Segala usaha dia jalankan, jualan kerang, jualan baju, buah-buahan ia lakoni. Usahanya terus menanjak. Satu warung sudah dibeli, dia membeli satu lagi. Dia mengkreditkan hand phone kepada karyawan galangan yang selalu mampir diwarungnya. Di hari valentine dia tidak berasyik masyuk seperti remaja-remaja yang lain, malah dia menjual bunga serta mengantarkan bunga-bunga tersebut ke alamat-alamat yang di tulis di pita bunga itu. Untuk menambah kepercayaan diri, dia membuang tanda hitam yang menempel di pipinya, memperdalami bahasa Inggeris dan sekolah tata rias rambut di kota. Dia kini telah melebihi Huong dalam hal penataan rambut. Ia adalah seorang hair stylist berusia muda, sedangkan Huong hanya tukang potong biasa.

Saya kembali membuka La Tahzan dan Steps to the top yang saya baca. Beratus-ratus halaman yang terjilid rapi dalam kedua buku itu tercermin utuh di dalam diri gadis muda yang dinamis ini. Meskipun saya tahu, dia tidak akan pernah tahu tentang buku-buku itu, apa lagi membacanya. Tetapi dia sudah mempraktekkan keseluruhan isinya. Betapa seorang gadis kecil yang terluka dapat melejit menembus batas-batas ketidak mungkinan yang senantiasa bersemayam di dalam alam pikiran negatif manusia. Ibunya sang motivator telah menyulut api semangat yang membakar perasaan rendah dirinya, menggali kemampuannya dan mendorong sehingga ia bergerak lebih cepat dari kebanyakan orang. Sabar, gigih, kosisten, jujur dalam berusaha telah ia jalankan. Ia tidak bermusuhan dengan Huong, tapi dendanmnya ia formulasikan menjadi sebuah energi dahsyat yang melontarkannya menuju puncak. Kini dia memang belum sepenuhnya mengungguli Huong, tapi sebentar lagi, dia akan...................

Malam itu, dikala bulan benderang menembus awan. Berdua kami duduk berhadapan, kepiting goreng, udang gala rebus dan makanan kecil serta minuman keras khas Vietnam terhidang diatas meja restoran tak beratap yang menghampar di tepi pantai. Hoa mengungkapkan obsesinya.

“Aku ingin benar-benar mengalahkan Huong” ia memecah keheningan.

“Oya..” aku menunjukkan antusiasme.

“Bagaimana...?” tanyaku memancing.

“Kalau Huong mempunyai salon kecil didesa ini, aku ingin memiliki salon yang besar di Nhatrang (ibu kota provinsi Khan Hoa)”. Aku menatapnya lurus sembari mengira-ngira berapa banyak biaya yang diperlukan.

“Dan aku ingin memiliki beberapa buah warung lagi dipinggir galangan itu” ia menambahkan. Aku makin tercenung.

“Aku akan berusaha untuk itu” seakan ia membaca pikiranku.

“Bagaimana?” tanyaku penuh selidik.

“Sebentar lagi aku akan berangkat ke Jepang. Aku akan bekerja disana selama dua tahun. Aku akan mencari modal untuk itu. Sekarang tinggal menunggu dokumen-dokumennya selesai” ucapnya datar.

Rasa kagumku makin bertimbun-timbun. Ambisi gadis berusia dua puluh satu tahun dari pinggir galangan kapal ini sungguh menakjubkan. Aku mengalihkan pandangan kelangit. Minuman khas Vietnam yang menyengat lidah itu sudah beberapa kali aku teguk. Awan yang tertembus sinar bulan berpendar di awang-awang. Kulihat gadis itu melompat dari gugusan awan yang satu ke gugusan yang lain. Awan itu melayang menghampiri bulan yang tersenyum. Makin dekat, gadis itu merentangkan kedua tangannya. Makin dekat lagi,....Nguyen Thi Hoa akan bersegera merengkuh rembulan.

Sugianto Thoha, Galangan Kapal Hyundai Vinashin, Desa Ninh Phuoc Vietnam 24 Februari 2006

Wednesday, March 14, 2007 | posted in | 0 comments [ More ]

NIBUNG

“I hope everything is ok, yo hu know I’ve been looking 4u 4 along time., when I was at Jkt (to follow the training of cisco system analyze as along as 2 week at DEPDAGRI, South Jakarta. nothing could be done, coz our communication is disconnected). we are fine, how about u & Jkt ? From :NIBUNG “

Sebuah pesan singkat kuterima kemarin (13/03/07 18:06). Luar biasa….. hanya itu yang pertama kali terfikirkan olehku. ”NIBUNG”, nama sebuah desa dimana sahabatku tinggal. Aku memang belum pernah kesana tapi aku tahu persis siapa gerangan pengirim pesan ini. Seorang sahabatku...BENI FARIZA

Dua tahun tidak ada komunikasi hingga pesan ini kuterima, Setelah keputusanmu untuk hengkang dari kota Metropolis bukan karena semakin menggilanya polusi tentunya ataupun kerasnya kehidupan metropolis membuatmu mengambil keputusan itu. Mungkin yang kau cari tidak ada disini sobat ? ya.. hanya itu yang kupahami...

Kemana saja dikau sobat ? Sudahkah kau temukan apa yang kau cari selama ini ??. Jikalau sudah, sungguh itu memang harus kau miliki, jika belum ketahuilah sebentar lagi akan kau temukan...

Sejenak kenangan di kaki Bukit sulap hingga kota Kembang beberapa tahun silam hadir menghiasi rongga kepalaku. Saat-saat penuh canda walau terkadang sedikit bermasalah, Heroes Shodow of Death, Champion Manager dan DIABLO yang dulu sering mengisi waktu luang bahkan waktu untuk kuliahpun kita sita bersama. Tidak bertatap muka memang, namun sms ini cukup membuat hatiku sedikit bahagia mendegar keadaanmu sobat.

” Tidak ada salahnya untuk mencoba, Optimis itu penting, kerja keras bukanlah segala-galanya ”

kurang begitu jelas ini yang keberapa kali kubaca petikan sms terakhir yang kuterima dua tahun lalu . Ini memang bukan pesan dari Robert T Kiyosaki, bukan juga dari Mafia Manager dan Pengakuan Zaman. Dua buku yang selalu memberikan berbagai strategi jitu menghadapi badut-badut bahkan sampai mafiaso ala Italia yang selalu berusaha membuatmu manut pada mereka untuk selalu mengatakan iya...

Sobat......Jangan pernah takut mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak kau sukai.
“Kamu adalah saat ini, tidak kemarin, bukan pula besok ataupun lusa yang menurut sebagian orang adalah hari baikmu “. Lakukan terbaik hari ini jika tidak ? Kamu tidak akan melakukan hal yang terbaik besok bahkan lusa sekalipun.

I’m fine and everything is OK

Jakarta, 14 Maret 07 00:06

Menakjubkan

Menakjubkan

Malam ini, 12 Maret 07. Ini untuk sekian kalinya mataku belum bisa terpenjam. Benakku masih dipenuhi oleh sebuah kalimat yang terlontar dari seseorang tadi pagi. Seseorang yang jujur saja sangat kukagumi. Seseorang yang menurutku akan menjadi idola setiap orang yang mengenalnya.

Layar Gaim yang selalu membuatku selalu tersenyum seakan turut mengutukku, hingga sesaat aku tidak bisa mengetikkan apa-apa. Menakjubkan fikirku...sungguh....

Buzz !
Beberapa pesan yang belum sempat kubalas membuat aku tersadar. Temanku ternyata masih menunggu konfirmasi dariku. Tanganku mulai menari di atas keyboard sekenanya, Aku belum bisa sepenuhnya fokus dengan pembicaraan kami sebelumnya.

Ga niat kali....?
Begitulah sebuah kalimat yang sempat mengetarkan layar Gaimku. Iya benar....kini aku tahu betapa besarnya kekuatan dari sebuah niat.
” Innamal a’malu binniyat ”

Sahabat ... Kamu memang tidak menjadi idola di INDONESIAN IDOL ataupun jadi bintang di AFI dan KDI. Tapi sesungguhnya kamu tetap jadi idola bagiku. "Tapi mau ga dia jadi Idolaku ya...??" ah... I don't care...egois ya...


Terima Kasih....Terima Kasih... Sahabat manisku

Tuesday, March 13, 2007 | posted in | 0 comments [ More ]

Tiram Yang Tersembunyi

Tiram Yang Tersembunyi
Oleh: Sugianto Thoha

Kelam di dalam kelam. Gulita di dalam gulita. Awan gelap menyelubungi langit nun jauh di sebelah timur pantai pulau Mindanao. Seorang lelaki muda bersama isteri dan anak perempuannya terlempar dahsyat dari perahu mereka yang di lamun ombak berlapis di lautan Pasifik. Bakul-bakul tiram hasil tangkapan, peralatan selam sederhana serta mesin tempel 25 pk yang sejak siang hari rusak, tenggelam di kepekatan malam itu. Anak beranak itu menggapai-gapai untuk sesa’at. “Raih tanganku” pekik lelaki itu. Isterinya tak menjawab. “Aku tak dapat melihat tangan mu ayah, gelap sekali” pekik sang anak panik. Lelaki itu berenang kearah anaknya, setelah dekat dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki lelaki itu memakaikan pelampung yang tadi sempat ia raih kepada sang puteri. “Berdo’alah anakku, agar engkau mendapatkan cahaya” bisiknya pelan. Diam, kemudian lelaki itu hilang kedasar lautan.
*
Barge tempat penulis bekerja, tengah sandar di sebuah dermaga di kawasan Jurong Singapura. Barang-barang proyek, dinaikkan dari trailer-trailer yang berjajar menunggu antrian. Crew bekerja keras mengejar tenggat waktu, karena barge ini akan segera di berangkatkan ke Sharjah, Uni Emirat Arab. Raul petugas bagian material berkebangsaan Filipina sibuk berlari kesana kemari mengurus barang-barang yang datang.

Sore itu awal bulan April 2006, Raul yang lelah dan stress mengajakku keluar mencari hiburan. Aku langsung mengamininya, toh aku bisa santai-santai sekalian cari-cari inspirasi buat tulisan di Linggau Pos, kehidupan malam disini, misalnya.

Dari Pioneer road dengan menumpang bis kota kami menuju ke Jurong Point, maksudnya mau naik MRT (kereta cepat) dari statsiun Boonlay menuju ke pusat kota, tapi sudah terlalu malam, kami jadi naik taksi saja. Lalu lintas lancar tanpa hambatan. Tidak terasa kami sudah berada di pusat kota. Taksi kuarah kan menuju kawasan terpandang di Singapura Orchard Road, tepatnya Orchard Tower dimana beragam-ragam jenis hiburan malam terdapat disitu. Di depan pintu masuk para penerima tamu melambai-lambai. Sebagian klub mengenakan cover charge seharga 28 dollar Singapura, kira-kira Rp 150.000 sebagian lagi gratis. Kami lalu turun ke lantai dasar, disana terdapat beberapa buah bar Filipino. Raul ngajak ku masuk ke bar Peyton Place. Pelayan membawa kami ke sebuah meja bundar berkursi jangkung yang masih kosong di barisan tengah. Sebuah grup band bernama Jim Beam dari Filipiina tengah memainkan lagu-lagu berirama keras. Tiga orang penyanyi wanita berpakaian minim menari erotis dan vulgar. Tidak kerasan disitu aku mengajak Raul keluar.

Kami akhirnya pindah ke bar Blue Banana yang tidak jauh dari Peyton Place. Penyanyi di panggung memberi salam begitu kami melangkah masuk. Mereka terdiri dari dua orang laki-laki muda dan seorang gadis cantik berpakaian sopan. Interior bar itu bernuansa gelap dipadu dengan lampu-lampu gantung berwarna ungu berbentuk seludang tua yang hampir masak. Seludang tua itu berayun-ayun membiaskan cahaya temaram pada permukaan kulit orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya.

Kami duduk di kursi bagian depan, Raul langsung memesan minuman, ia membayar 36 dollar harga minuman itu. Rileks dan vakum beberapa sa’at, Raul kelihatan iseng sekali. Lagu sendu nan romantis berjudul ‘hello’ dikumandangkan diatas panggung. Raul hanyut dalam irama lagu itu. Dari arah belakang seorang gadis muda celingukan seperti mencari seseorang, Raul menyapa sekenanya “hello, is it me you’re looking for...?” (halo, aku kah yang kau cari...?), mengutip bait terakhir lagu Lionel Ritchie yang baru saja usai dinyanyikan. Pancingan itu mengena, gadis itu tersenyum mendekat kearahnya, sejurus kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan mengasyikkan. “Sorry ya, aku duluan...!” Raul meledekku.

Keki juga di ledek teman yang satu ini, tapi apa yang bisa kubuat. Aku hanya duduk sendiri, meratap sepi di tempat yang seramai ini. Lagu demi lagu telah dinyanyikan, pengunjungpun datang dan pergi silih berganti, namun tak seorang pun yang hirau pada ku. Bahkan Raul pun seperti sudah melupakan temannya ini, ia terlalu asyik dengan gadis yang baru dikenalnya itu. Ah! Aku jadi manyun sendiri. (Kasian deh lu!).

Sejurus kemudian, aku tersentak dari ratapan batinku itu. Seorang pelayan tiba-tiba melangkah ke arahku. Bagaikan magnit ia menyita seluruh perhatianku. Kedua kakinya yang indah melangkah jenjang diatas lantai pualam bar itu. Pandangannya redup dan bola matanya bundar menatap lurus kedepan. Ia mengibas-ngibaskan rambutnya yang tergerai lepas laksana mayang korma yang lembut lunak di belai angin gurun. Gaunnya sangat serasi, ia mengenakan baju panjang bercorak batik berbelah tinggi di pinggirnya. Kehalusan kulit gadis itu setara sutera lembut yang dikenakan orang-orang yang bertelekan diatas dipan yang dilapisi permadani berwarna hijau. Aku menoleh kesekeliling, mata-mata para pengunjung membelalak besar laksana burung hud hud menyaksikan ratu Balqis menyingsing tepi kainnya diatas pualam yang berkilau bening laksana air yang mengalir di dasar sungai.

Dadaku berguncang dahsyat, butir-butir peluh menyeruak dingin di kulit wajahku yang memucat. Kalaulah aku mewariskan sedikit saja kefasihan nabi Sulaiman dalam bertutur kata, tentu akan ku sapa Balqis dari Filipina ini dengan lemah lembut. Namun apa daya, rahangku serasa terkunci rapat oleh sebuah belenggu yang melingkar erat di kuduk ku. Suara ku tercekat di kerongkongan, lidahku keluh, pahit bagaikan menelan buah zaqqum yang tumbuhnya didasar jahanam. Kini pelayan itu semakin hampir kepadaku, kami hanya berjarak sejauh desahan nafas yang terlepas. Ia mengerlingkan mata indahnya kearahku. Kerlingan itu begitu menawan, alisnya tebal hitam laksana tongkol jagung kaum Madyan yang kebunnya terbakar di malam hari. Bulu matanyapun lentik lentur berbaris rata seperti benang sari putik-putik bunga surga yang belum dihinggapi lebah. Aku tidak akan berbantah-bantah tentang kecantikan gadis itu. Tidak seperti kaum Madyan yang bakhil dan serakah berbantah-bantah tentang kebun mereka. Dan tidak pula ingkar akan keindahan itu. Tidak seperti kaum ‘Ad maupun Tsamud penduduk lembah Hijr yang ingkar lagi menyombongkan diri didalam rumah-rumah yang mereka pahat diatas bukit batu. Aku takjub memandangnya, sebagaimana Adam takjub memandang Hawa di waktu pagi. Maka nikmat tuhan manakah yang kamu dustakan.......?

Gadis itu berlalu, aku hanya ternganga tak bersuara.

Ia menyambangi meja diseberangku. Seorang laki-laki tampan berpakaian mahal memanggilnya kesana. Mata sipit laki-laki itu memerah terkena pengaruh alkohol.

Beberapa pasangan melantai mesra di lantai dansa yang temaram. Pelayan-pelayan lain sibuk melayani para tetamu yang hanyut dalam suasana romantis malam itu. Bahkan beberapa diantaranya bergayut mesra dipangkuan para hidung belang yang menjejalkan tip tebal di kantong mereka.

Laki-laki tampan di seberang meja mengumbar kata-kata manis kepada pelayan yang bersikap santun itu. Ia mengulur beberapa lembar uang kertas dari dompetnya. Namun gadis itu menolaknya dengan sopan. Laki-laki itu kian geram, ia mengoceh tak menentu. Gadis itu mulai gamang ketakutan. Tiba-tiba, laki-laki tampan itu mencengkeram erat pergelangannya. Gadis itu meronta, ia berjinjit kebelakang dan berteriak minta tolong. Aku bangkit dari kursi yang kududuki, berlari keluar memanggil body guard yang berdiri di depan pintu. Dua orang laki-laki bertubuh tegap dengan tangkas membekuk laki-laki kurang ajar itu.

Laki-laki itu sudah dibawa keluar, suasana tenang kembali.

Pelayan tadi itu mendekatiku, aku mengeser ke kursi sebelah. “Maraming salamat” ia mengucapkan terima kasih pada ku. “Walang problema” tidak apa-apa, jawabku dalam bahasa Tagalog seadanya. “Kamustaka?” ia menanyakan kabar berbasa-basi. “Mabuti”, baik-baik saja jawabku lagi. “Anong pangalan mo....?”, kuberanikan diri menanyakan namanya. “Cheska” jawabnya pelan. “Anong gina gawa mo...?” Cheska menannyakan pekerjaan ku. “Lepas pantai” jawab ku. “Laut...?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Cheska terdiam sejenak, kemudian ia berkata-kata lagi dalam bahasa Tagalog yang tidak ku mengerti. “Aku orang Indonesia” aku menjelaskan kepadanya dalam bahasa Inggeris. “O, ma’af kukira kamu orang Filipina juga” jawab Cheska tersipu. Aku memperlihatkan pasporku padanya. Cheska menilik-niliknya sebentar, kemudian dengan santun ia minta diri padaku karena harus melayani tamu yang lain.

Pasangan Raul mendekatiku, ia bercerita tentang Cheska. “Gadis itu” katanya, “sangat spesial disini”. “Maksud mu?” tanyaku. “Ia adalah permata yang tersimpan didalam gelas. Bisa di pandang, tak bisa di pegang” ia berandai-andai. “Kok gadis bar bisa begitu?” tanyaku penasaran. “Dia memang lain....” katanya lagi membuatku makin penasaran. “Lainnya...?”. “Dia mempunyai prinsip yang teguh!”. “Prinsip yang teguh?” tanyaku seolah pada diri sendiri. “Dia mahasiswi sebuah politehnik disini” pasangan Raul menjelaskan lagi. “Apa hubungannya mahasiswi dengan sentuh-sentuhan?” tanyaku bodoh. “Tanya sendiri sama dia !!!” pasangan Raul bosan meladeniku.

Menutupi perasaan malu akan kebodohan diri sendiri, lagi-lagi pandangan ku menyapu dekorasi gelap di dalam bar itu. Cheska sibuk mengantarkan minuman dari meja yang satu ke meja yang lain. Ia anggun, bersahaja dan cekatan dalam mengerjakan tugasnya. Ia berdiri dibawah lampu-lampu gantung yang berbentuk sabit itu. Aku menguap beberapa kali, hari menjelang tengah malam, mataku mulai mengantuk. Cahaya lampu di langit-langit tidak lagi ungu dan temaram dimataku kini, tetapi bersinar kemilau di permukaan kulit Cheska yang berdiri tepat dibawahnya. Pantulan cahaya itu begitu terang laksana pelita yang memancar dari celah dinding dimalam hari. Pelita itu berada di dalam gelas. Gelas itu bening, terang benderang seperti bintang yang berkilau. Pelita itu dinyalakan oleh minyak yang berkilau pula. Ia memantulkan cahaya meskipun belum dimakan api. Ia adalah minyak yang terbuat dari buah pepohonan yang diberkati, ia tidak tumbuh di timur dan tidak pula di barat, tetapi pohon zaitun yang tumbuh di bukit Thur Saina.

Aku terperangkap dalam pesona dan kharisma Cheska yang ia pancarkan padaku. Ku tundukkan wajah tatkala ia mendapatkan aku memperhatikannya dari kejauhan. Ia melemparkan sebuah senyum tipis di ujung bibir. Aku tercagak. Aku menemukan keagungan sebuah pribadi yang sempurna di sudut senyuman itu. Beribu-ribu pertanyaan menyemburat dari lubuk hatiku kini. Siapakah permata yang berkilauan ini? Aku mencoba menerka-nerka. Kalau berasal dari daratan ia mestilah zamrud ataupun safir yang mahal harganya, batinku. Bukan, pikiran keduaku menyangkal. Ia mesti berasal dari lautan.
*
Hari-hari ku kembali sibuk dengan urusan pekerjaan. Waktu ku sempit sekali untuk dapat menemui gadis yang telah merasuk kedalam alam bawah sadar ku ini. Hanya hubungan telepon dan sms yang mempereratkan persahabatan kami. ‘Datanglah, aku akan bercertita padamu’ pesannya suatu minggu pagi. Kami lantas bertemu di stasiun MRT City Hall, dibawah hotel Raffles yang menjulang tinggi itu. Masuk ke penyeberangan bawah tanah, keluar di pelataran hotel Marina. Menyeberang lagi, melintasi Esplanade gedung pertunjukan yang berbentuk durian, kami lantas menyusuri pantai Marina yang ramai orang memancing.

“Ceritakanlah!” pintaku, ketika Cheska terdiam memandang jauh ke lautan. Gadis itu kian mematung. Wajahnya yang putih bersih berubah menjadi merah. “Kenapa?” aku membimbingnya duduk disebuah bangku panjang di taman pantai itu.

“Aku telah kehilangan segalanya” katanya memulai. “Apa..?” tanyaku ingin tahu. “Laut itu telah mengambil segalanya”. “Mengambil apa....?” tanyaku. Cheska bercerita. “Pagi itu, ayah, ibu dan aku pergi ke tengah laut mencari tiram”. “Di pantai timur pulau Mindanao, Filipina Selatan” Ia menjelaskan. “Tengah hari mesin perahu rusak, ayah tidak dapat membetulkannya. Angin menghanyutkan kami ke lautan Pasifik” Cheska diam lagi. “Dan...dan....!” ia tersendat. “Dan apa??” tanyaku penasaran. “Badai itu datang...perahu kami terbalik, kami terlampar, ayah, ibu hilang ditelan gelombang” Cheska berurai airmata tak tertahankan. “Bagaimana kau bisa selamat?” tanyaku padanya, ketika Cheska sudah menguasai diri. “Aku melihat sinar yang kemerlap” katanya. “Sinar???” tanyaku lagi. “Ia, sinar!!” jawabnya. “Sinar apa itu?” tanyaku lagi. “Sinar yang memancar dari kuduk ikan lumba-lumba yang mendorong ku hingga ke pantai” Cheska menerawang jauh. “Kemudian...?” tanyaku. “Dan seorang nelayan menemukanku” jawab Cheska. “Lantas....?” tanyaku. “Aku di angkat menjadi anaknya, disekolahkannya hingga sa’at ini”.

Hatiku luruh mendengar pengalaman pahit gadis cantik yang duduk disamping ku ini. “Kok kamu bisa sampai ke Singapura dan bekerja di bar itu?” selidikku ingin tahu. “Aku mendapat bea siswa di sebuah politehnik di negeri ini” jawabnya. “Kerja di bar itu untuk tambahan biaya kuliahku saja” imbuhnya pelan. “Tidak ada pekerjaan lain?” tanya kulagi. “Belum dapat, masih mencari-cari” jawab Cheska sendu.

Terkenang lirikan manisnya malam itu, senyumnya yang tersungging di ujung bibir, serta perhatiannya padaku, membersitkan sebuah harapan di lubuk hati ini. Aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Namun sebelum aku sempat merangkai kata. Seolah membaca pikiranku Cheska mendahului ku. “Bolehkan kalau aku berterus terang padamu?” tanyanya lemah lembut. “Maksudmu?” tanyaku dag dig dug. “Ingatkan malam itu aku mendekati meja mu?”. “Ya, aku ingat” jawabku. “Aku melirik kepadamu. Tapi kau menundukkan muka” sambungnya lagi. “Ya!” jawab ku lagi. “Sesungguhnya...” katanya terputus membuat hatiku kian berbuncah.. “Sesungguhnya apa?” aku ingin segera mendengar kata-kata itu. “Sesungguhnya, aku menyukaimu...!!!” tandas Cheska tegas. Wow! Pucuk dicinta ulam tiba batinku, aku bersorak sorai dalam hati. Namun belumlah usai kegembiraanku, Cheska menambahkan lagi. “Aku menyukaimu, tetapi....,,,,,,,,,” Ia berhenti disitu meninggalkan koma panjang yang tak tertutup. “Tetapi apa?” tanyaku. “Nanti kusambung lagi” katanya membuatku penasaran. “Kok begitu ...?” tanya ku. “Karena ceritaku belum habis kepadamu” jawab Cheska. “Teruskan kalau begitu” aku mempersilakannya.

Cheska melanjutkan ceritanya. “Orangtua angkat ku itu adalah keluarga muslim yang ta’at. Aku dibesar dan didiknya dengan nilai-nilai agama yang kuat” katanya datar. Oh! Pantas, aku mengingat-ingat. “Aku adalah seorang muslimah” lanjutnya mantap. Hatiku merasa bangga kepada gadis ini. Teringat pasangan Raul malam itu, aku menambahkan, “sesungguhnya kau adalah seorang muslimah yang memegang prinsip yang teguh”. Cheska tersipu. “Ah, aku hanya seorang gadis bar biasa” katanya pelan. Hati kecil ku berkata, tidak! Kau adalah gadis bar yang luar biasa.

Aku menatap kearahnya penuh penantian, koma panjang tadi belum lagi tersambung. Cheska bercerita kembali. “Kejadian itu sepuluh tahun yang lalu, aku baru berumur sembilan tahun. Hari libur, jadi aku ikut ayah dan ibu melaut. Aku senang ikut kelaut, karena aku suka melihat lumba-lumba yang susul menyusul” Cheska mengenang masa kecilnya. “Ibu ku masih muda kala itu” ia melanjutkan. “Dan ayahku.....” ia berhenti, menatapku tak berkedip. “Kira-kira seusia dengan mu sa’at ini” katanya kemudian. Lalu, diluar dugaanku ia kemudian bangkit dari kursi taman itu dan berdiri tepat didepan ku. “Dan...dan...” ia mulai lagi. “Dan apa..?” tanya ku tak mengerti. “Wajahnya mirip dengan mu” sembari tak melepaskan pandangannya dari wajahku. Oh! Aku tersedak, pantas, pantas, pantas....aku mengingat berkali-kali. Suasana hatiku kini berubah-rubah tak menentu, perasaan bahagia dan kecewa berpadu jadi satu.

“Makanya, aku menyukaimu tetapi......“ katanya terputus. “Tetapi apa ?” tanyaku lagi-lagi bodoh. “Tetapi, aku menyukaimu seperti aku menyukai almarhum ayah ku, daddy!!!!” sergahnya tegas dan manja. Lantas, dari dalam tasnya ia mengeluarkan telepon genggam yang ia tempelkan ketelinga ku. Lagu selamat ulang tahun berkumandang dari handphone itu. Sejenak aku tertegun, ya, hari ini ulang tahun ku yang ke 40. Aku sudah tua.

Menjelang senja, kami beranjak dari kursi taman itu. Gedung-gedung bertingkat memancarkan lampu-lampu gemerlap berwarna-warni. Aku meminta Cheska berdiri di depan simbol kota Singapura, yaitu patung singa yang menyemburkan air dari mulutnya itu. Ku tekan tombol kamera digital yang berada ditanganku, semburat cahaya memancar deras dari blitz kamera itu, ia memantul tajam di permukaan kulit Cheska yang berkilau bak mutiara.

Tak percaya apa yang ku lihat. Aku membidik kamera dan menekan tombol sekali lagi. Klik!.., mataku menjadi silau tak tertahankan, cahaya memancar diatas cahaya, terang bersinar diatas terang. Kulit Cheska kembali benderang memancarkan kilau mutiara.

Aku menerawang awan berarak di atas langit Singapura, mencari-cari dan bertanya-tanya. Alam bawah sadar ku lantas berkata, bahwa cahaya itu benar-benar berasal dari sebutir mutiara. Namun ia bukanlah mutiara biasa, tetapi ibu segala mutiara yang berada ditempat yang terjaga lagi terpelihara. Ia berada jauh di dasar lautan, di dalam Tiram yang tersembunyi. (Samudera Hindia, 05 Mei 2006).
****

Monday, March 12, 2007 | posted in | 0 comments [ More ]

Label Cloud