Merengkuh Rembulan

Wednesday, March 14, 2007 | posted in | 0 comments

Merengkuh Rembulan

Oleh Sugianto Thoha

(Email : sthoha@yahoo.com )


Saya sedang membaca dua buah buku silih berganti, yaitu La Tahzan (Jangan Bersedih) tuntunan untuk menjadi seorang insan yang berbahagia karangan Dr. Aid Abdullah al-Qarni dan Steps to the top karangan Zig Ziglar yang mengajarkan kiat-kiat menuju puncak.

Steps to the top:

Syahdan, gubernur Massachusetts sedang bejuang keras untuk memenangkan pencalonan gubernur untuk kedua kalinya. Ia kampanye sepanjang hari, tidak sempat makan siang dan terlambat datang pada acara bakar ayam bersama yang diselenggarakan oleh pendukungnya disebuah gereja.

Tatkala ia menyodorkan piring, perempuan tua yang berada diseberang meja menaruh sepotong ayam saja di piringnya. “Ma’af” katanya, “Bisa saya minta sepotong lagi?”.

“Tidak bisa pak, jatahnya hanya sepotong untuk setiap orang” jawab si perempuan tua sopan.

“Ibu tidak kenal saya” ia menekan. “Saya Christian Herter, Gubernur negara bagian ini”.

Perempuan tua itu menatap kedepan lalu berkata. “Dan saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ayam bakar ini” tegas dan berani sembari memerintahkan sang gubernur maju sebab banyak orang yang antri di belakang.

Sumatera Ekpres 5 Februari 06 H, Dulmukti Djaja menulis dalam Refleksi dengan judul ‘Warga Belanda tak takut polisi’, ia menceritakan tentang kecintaan warga negara Belanda terhadap kebersihan dan kepatuhan mereka terhadap hukum. Warga Belanda tidak takut kepada polisi berkumis tebal ataupun akar bahar hitam yang melingkar di lengan seperti disini, tetapi takut kepada hukum yang berlaku di negara itu.

Kedua hal tersebut diatas tidak ada hubungannya dengan karangan yang akan saya tulis dibawah ini, tetapi sangat menarik untuk dijadikan sebuah renungan.

Lagipula, saya kurang berminat untuk menulis topik yang terlalu berat. Saya lebih cenderung kepada yang manis-manis saja, yang tentunya disukai setiap orang.

Seperti yang satu ini;

Lokasi kejadian adalah desa Ninh Phuoc terletak dipinggir pantai di propinsi Khan Hoa Vietnam Selatan. Desa ini dahulunya sangat terisolir, baru saja terbuka beberapa tahun lalu semenjak berdirinya sebuah galangan kapal milik perusahaan Korea disitu. Kaum pria disini sangat ringan tangan, pemabuk dan berlaku kejam terhadap perempuan. Para pelaut yang singgah menjadi idola bagi gadis-gadis remaja. Tidak saja mereka royal dalam hal materi tapi juga berlaku baik terhadap gadis-gadis itu. Sedangkan para orang tua akan bangga kalau ada orang asing berkunjung kerumahnya. Suasananya kurang lebih seperti kalau ada ‘belando masuk dusun’ begitulah.

Tanah masih lembab, gerimis baru saja berhenti. Desiran angin malam berhembus lembut, kelopak-kelopak bunga yang sudah mekar terjatuh dari kuntumnya, sedangkan putik-putik yang masih kuncup tersuruk-suruk diantara ranting-ranting perdu yang saling bergesekan.

Kami baru saja keluar dari pintu gerbang galangan kapal. Bau makanan laut bakar memenuhi rongga hidung. Kami merunuti sumber bau yang menyengak itu. Sekitar seratus meter dari pintu galangan, berpuluh-puluh pedagang cangkungan memenuhi kiri kanan jalan yang menuju ke kampung dalam. Jualan mereka bermacam-macam, makanan kecil, minuman ringan hingga minuman keras. Bahkan perempuan-perempuan berdandan menor pun ada disitu. Mendapati suasana seperti ini, rombongan kami pun terpecah belah, berhamburan sesuai selera masing-masing. Ya, seperti persatuan tahi kambing lah, kompak di dalam cerai berai kalau sudah diluar.

“Selamat malam” sapa seorang gadis kecil dengan bahasa Inggeris yang kurang mengena. Aku membalasnya. “Silakan duduk” ia menunjuk kearah bangku-bangku plastik rendah yang ada di sekeliling bakul dagangan. Seorang perempuan setengah baya duduk dibelakang bakul itu, tangannya mengipas-ngipas sotong kering (cumi-cumi besar) di atas tungku arang di hadapannya. “Ibu ku” ia mengenalkan perempuan itu padaku. Kami bersalaman. “Hoa” ia menyebut namanya.

Hoa yang dalam bahasa Vietnam berarti bunga adalah gadis kecil yang baru gede, umurnya baru masuk tujuh belas tahun. Di pipi sebelah kirinya menempel sebuah tanda hitam selebar daun jeruk nipis. Dandanannya asal-asalan saja. Bersandal jepit, rambut di ikat kebelakang. Baju yang sama kadang ia pakai sampai dua tiga hari. Aku memaklumi saja hal itu, sebab ibunya adalah seorang janda yang tidak punya. Ayahnya meninggal ketika Hoa masih berusia tiga tahun. Mereka anak beranak mengais rezeki di pinggir galangan kapal itu.

Walaupun terkendala komunikasi aku ‘dekat’ dengan Hoa. Hampir setiap malam aku mencangkung di bakulnya, minum sebotol limun dan melahap selembar sotong bakar selebar telapak tangan. Kadang-kadang aku memberinya hadiah-hadiah kecil. Ia sering kali berlaku manja kepada diriku. Kata teman-teman Hoa menyukai aku. Tapi, aku tak mau berpikir hingga sejauh itu. Toh kuncup ini masih berbentuk putik. Aku lebih pantas menjadi pamannya.

Suatu hari, aku terserempak dengan kuntum yang sedang mekar, keindahan bunga ini agak sulit aku gambarkan. Tapi kira-kira begini, bibirnya adalah Desy Ratnasari yang sedang tersungging, matanya Meriam Bellina yang sedang mengerling. Bodynya Maudy Kusnaedy yang sedang berjinjit. Hidungnya...? Sorry mas, ada masalah sedikit, pas-pasan saja. Tapi seandainya hidung itu di permak, maka ia adalah Lin Ching Hsia yang baru bersolek.

Aura kecantikan memancar deras dari kulit halus gadis pemilik salon di desa Ninh Phuoc itu. Ia berkilau-kilau laksana matahari membakar sahara. Kenal dengan dirinya adalah sebuah prestige, maka perlombaan diantara teman-temanpun di mulai. Setiap hari ada saja yang gunting rambut, cuci muka, potong kuku dan sebagainya. Mau tahu siapa pemenangnya? Sudah tentu pengarangnya dong!.

Singkat cerita akupun ‘dekat’ dengan Huong yang dalam bahasa Vietnam berati wewangian di musim semi. Huong berumur sekitar dua puluh satu tahun lebih sedikit. Ia berpenampilan trendy seperti foto model di sampul majalah remaja, bahasa Inggerisnya baik dan mudah dimengerti. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Aku seakan berada disebuah taman yang luas, burung-burung bercicitan, air terjun mendesir-desir. Pohon apel berbaris rapi menaungi semak perdu dan bunga-bungaan alam berwarna-warni ditepian sungai yang mengalir dibawahnya. Buah-buahan seakan-akan memberikan diri mereka kepadaku. Tangkai-tangkai anggur, rambutan dan tandan pisang pang yang harum baunya menjulur-julur kedalam pondok tempat aku lesehan diatas permadani hijau, sembari minum dari cangkir-cangkir berwarna perak yang indah ukirannya. Seorang bidadari bermata bundar menuangkan minuman yang tidak memabukkan untuk ku. Bidadari itu lalu membawaku ke pinggir sungai. Mata kami tertangkap sebiji buah apel yang tersembul dibalik dedaunan. Warnanya berkilau, menggoda untuk dipetik Kami mendekati pohon. Seekor ular mendesis-desis keluar dari dalam tanah, ia membujuk kami supaya memetik buah yang ranum itu.

“Petiklah jangan ragu” kata si ular.

“Aku akan memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga petiklah apel itu” bujuk siular lagi.

Bidadari menjangkau dahan apel, ia bersiap-siap akan memetik.

Si ular mulai berhitung “satu....dua ..” tiba-tiba ia berhenti menghitung. Seorang lelaki India sekonyong-konyong tiba di tempat itu. Ia meniup serulingnya mengalunkan irama gangga. Serta merta kepala si ular bergoyang kekiri dan kekanan, tubuhnya meliuk-liuk seperti Inul. Bidadari kecewa sebab ular telah terlupa akan hitungan ketiga.

Aku terperanjat. Tangan ku menepis ke udara, Yusuf temanku yang mirip orang India menepuk pundak ku. “Mari pulang....” ia menggamit. Jam sebelas malam aku ketiduran di kursi selonjor di salon Huong.

‘Dekat’ dengan Huong berarti jauh dari Hoa, saking jauhnya sampai-sampai tidak terlintas lagi di dalam ingatan. Kata teman-teman Hoa mencari-cari aku. Ah! peduli amat sama anak kecil itu, pikir ku kala itu.

Peristiwa diatas terjadi kurang lebih empat tahun yang lalu, tatkala pertama kali barge kami melakukan perbaikan di galangan kapal Hyundai Vinashin yang terletak didesa Ninh Phuoc.

Sekarang kami kembali lagi ke desa Ninh Phuoc dalam rangka perombakan barge agar bisa memasang pipa bawah laut yang lebih besar diameternya. Aku menapak tilas. Orang-orang yang kukenal dulu masih ada disini, ada perubahan disana sini. Tapi kali ini aku lebih ‘dekat’ kepada Hoa dari pada Huong, bukan karena kuntum mekar itu sudah mulai layu ataupun putik yang kuncup ini sudah pun bersemi. Tetapi............

Hoa yang kukenal sekarang bukan lagi dia yang dulu. Dia bukan lagi gadis kecil yang berdiri dipinggir bakul dagangan ibunya. Hoa sekarang adalah pemilik dua buah warung yang ramai pengunjung di terminal bis karyawan. Ia seorang bos, beberapa orang gadis kecil bekerja untuknya. Penampilannya berubah 180 derajat, tidak kalah dengan gadis-gadis remaja yang berkeliaran di pusat perbelanjaan mewah di ibukota. Rambutnya yang berwarna hitam berkilau dibiarkan tergerai bebas di pundaknya. Tanda hitam dipipi sebelah kiri sudah tidak ada lagi, hanya barutan-barutan tipis bekas operasi tersisa disitu. Dia berpakaian modis dan trendy, jemarinya yang lembut menggenggam HP Samsung model terbaru. Aku takjub dan terpukau melihat perubahan drastis gadis yatim yang baru berusia dua puluh satu tahun ini.

“Kamu jahat.......!” sergah Hoa ketika kami bertemu kembali.

“Ya.....” aku mengakui. “Ma’af kan aku...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Dengan suara sember dan mata berkaca-kaca Hoa mengungkit masa silam. Kala itu, dia merasa malu dan terhina ketika aku meninggalkannya tanpa sebarang alasan. Bermalam-malam ia menangis di dalam gubuknya yang hanya diterangi pelita kecil. Dia marah kepada kepapaan dirinya, yang dia pikir karena itu aku meninggalkannya. Dia mencari aku untuk meminta penjelasan. Tapi pesan-pesannya ku anggap sebagai angin lalu saja. Kemilau kecantikan Huong telah membutakan matahatiku. Aku tidak cukup punya nurani untuk mendengar rintihan gadis kecil yang menemukan figur pelindung dalam diriku. Cintanya yang pertama telah kukandaskan pada gugusan karang tajam yang mencuat dari lubuk keangkuhanku.

Hoa melanjutkan. Dia semakin tak sanggup menatap matahari ketika dia tahu aku menjalin hubungan dengan Huong. Ibaratkan langit dan bumi, dia hanyalah sebuah pelataran kecil tempat menapak para dewata yang menaiki tangga langit untuk memuja keindahan nirwana. Huong mencangking diatas nirwana itu. Salonnya laris manis, koceknya tebal. Ia membeli make-up buatan luar negeri, perhiasan emas bertaburan di tubuhnya.

Hoa pernah berpikir untuk berbaur dengan gelombang, berselimutkan buih-buih dan menenggelamkan perasaan marah, malu, kecewa dan frustasi ke dasar lautan yang melambai-lambai kepadanya.

LA TAHZAN, jangan bersedih. Ibunya selalu menasihati Hoa. “Tahanlah amarah mu dan ma’afkan orang yang menyakitimu”. “Bangkitlah, tentangkan matamu kearah matahari. Bakar dendam mu dengan sinarnya”. “Berusahalah, kejar ketinggalan mu dari orang lain”. Hoa merebahkan diri dipangkuan ibunya. Nasihat-nasihat bernas dan belaian lembut sang ibu menyejukkan hatinya. “Nak...” sambungnya lagi “suatu hari kau akan melebihi Huong dalam segalanya”. Hoa mendongak menatap wajah ibu yang memeluknya. Ibunya meneruskan “sekarang kita memang miskin, tidak punya apa-apa. Tapi ada rezeki dibawah matahari dan ada pula dibawah rembulan”. Hoa menangkap makna yang dalam itu.

Hari-hari berlalu, Hoa mulai bangkit. Sekolah dipagi hari, membantu ibu jualan di sore hingga malam hari. Dia tidak menyia-nyiakan waktunya sedikitpun. Tidak pula dia membelanjakan uangnya sembarangan. Ada keuntungan dia gunakan untuk memperbesar modal bakul ibunya. Segala usaha dia jalankan, jualan kerang, jualan baju, buah-buahan ia lakoni. Usahanya terus menanjak. Satu warung sudah dibeli, dia membeli satu lagi. Dia mengkreditkan hand phone kepada karyawan galangan yang selalu mampir diwarungnya. Di hari valentine dia tidak berasyik masyuk seperti remaja-remaja yang lain, malah dia menjual bunga serta mengantarkan bunga-bunga tersebut ke alamat-alamat yang di tulis di pita bunga itu. Untuk menambah kepercayaan diri, dia membuang tanda hitam yang menempel di pipinya, memperdalami bahasa Inggeris dan sekolah tata rias rambut di kota. Dia kini telah melebihi Huong dalam hal penataan rambut. Ia adalah seorang hair stylist berusia muda, sedangkan Huong hanya tukang potong biasa.

Saya kembali membuka La Tahzan dan Steps to the top yang saya baca. Beratus-ratus halaman yang terjilid rapi dalam kedua buku itu tercermin utuh di dalam diri gadis muda yang dinamis ini. Meskipun saya tahu, dia tidak akan pernah tahu tentang buku-buku itu, apa lagi membacanya. Tetapi dia sudah mempraktekkan keseluruhan isinya. Betapa seorang gadis kecil yang terluka dapat melejit menembus batas-batas ketidak mungkinan yang senantiasa bersemayam di dalam alam pikiran negatif manusia. Ibunya sang motivator telah menyulut api semangat yang membakar perasaan rendah dirinya, menggali kemampuannya dan mendorong sehingga ia bergerak lebih cepat dari kebanyakan orang. Sabar, gigih, kosisten, jujur dalam berusaha telah ia jalankan. Ia tidak bermusuhan dengan Huong, tapi dendanmnya ia formulasikan menjadi sebuah energi dahsyat yang melontarkannya menuju puncak. Kini dia memang belum sepenuhnya mengungguli Huong, tapi sebentar lagi, dia akan...................

Malam itu, dikala bulan benderang menembus awan. Berdua kami duduk berhadapan, kepiting goreng, udang gala rebus dan makanan kecil serta minuman keras khas Vietnam terhidang diatas meja restoran tak beratap yang menghampar di tepi pantai. Hoa mengungkapkan obsesinya.

“Aku ingin benar-benar mengalahkan Huong” ia memecah keheningan.

“Oya..” aku menunjukkan antusiasme.

“Bagaimana...?” tanyaku memancing.

“Kalau Huong mempunyai salon kecil didesa ini, aku ingin memiliki salon yang besar di Nhatrang (ibu kota provinsi Khan Hoa)”. Aku menatapnya lurus sembari mengira-ngira berapa banyak biaya yang diperlukan.

“Dan aku ingin memiliki beberapa buah warung lagi dipinggir galangan itu” ia menambahkan. Aku makin tercenung.

“Aku akan berusaha untuk itu” seakan ia membaca pikiranku.

“Bagaimana?” tanyaku penuh selidik.

“Sebentar lagi aku akan berangkat ke Jepang. Aku akan bekerja disana selama dua tahun. Aku akan mencari modal untuk itu. Sekarang tinggal menunggu dokumen-dokumennya selesai” ucapnya datar.

Rasa kagumku makin bertimbun-timbun. Ambisi gadis berusia dua puluh satu tahun dari pinggir galangan kapal ini sungguh menakjubkan. Aku mengalihkan pandangan kelangit. Minuman khas Vietnam yang menyengat lidah itu sudah beberapa kali aku teguk. Awan yang tertembus sinar bulan berpendar di awang-awang. Kulihat gadis itu melompat dari gugusan awan yang satu ke gugusan yang lain. Awan itu melayang menghampiri bulan yang tersenyum. Makin dekat, gadis itu merentangkan kedua tangannya. Makin dekat lagi,....Nguyen Thi Hoa akan bersegera merengkuh rembulan.

Sugianto Thoha, Galangan Kapal Hyundai Vinashin, Desa Ninh Phuoc Vietnam 24 Februari 2006

0 Responses So far

Post a Comment

Label Cloud