Tiram Yang Tersembunyi

Monday, March 12, 2007 | posted in | 0 comments

Tiram Yang Tersembunyi
Oleh: Sugianto Thoha

Kelam di dalam kelam. Gulita di dalam gulita. Awan gelap menyelubungi langit nun jauh di sebelah timur pantai pulau Mindanao. Seorang lelaki muda bersama isteri dan anak perempuannya terlempar dahsyat dari perahu mereka yang di lamun ombak berlapis di lautan Pasifik. Bakul-bakul tiram hasil tangkapan, peralatan selam sederhana serta mesin tempel 25 pk yang sejak siang hari rusak, tenggelam di kepekatan malam itu. Anak beranak itu menggapai-gapai untuk sesa’at. “Raih tanganku” pekik lelaki itu. Isterinya tak menjawab. “Aku tak dapat melihat tangan mu ayah, gelap sekali” pekik sang anak panik. Lelaki itu berenang kearah anaknya, setelah dekat dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki lelaki itu memakaikan pelampung yang tadi sempat ia raih kepada sang puteri. “Berdo’alah anakku, agar engkau mendapatkan cahaya” bisiknya pelan. Diam, kemudian lelaki itu hilang kedasar lautan.
*
Barge tempat penulis bekerja, tengah sandar di sebuah dermaga di kawasan Jurong Singapura. Barang-barang proyek, dinaikkan dari trailer-trailer yang berjajar menunggu antrian. Crew bekerja keras mengejar tenggat waktu, karena barge ini akan segera di berangkatkan ke Sharjah, Uni Emirat Arab. Raul petugas bagian material berkebangsaan Filipina sibuk berlari kesana kemari mengurus barang-barang yang datang.

Sore itu awal bulan April 2006, Raul yang lelah dan stress mengajakku keluar mencari hiburan. Aku langsung mengamininya, toh aku bisa santai-santai sekalian cari-cari inspirasi buat tulisan di Linggau Pos, kehidupan malam disini, misalnya.

Dari Pioneer road dengan menumpang bis kota kami menuju ke Jurong Point, maksudnya mau naik MRT (kereta cepat) dari statsiun Boonlay menuju ke pusat kota, tapi sudah terlalu malam, kami jadi naik taksi saja. Lalu lintas lancar tanpa hambatan. Tidak terasa kami sudah berada di pusat kota. Taksi kuarah kan menuju kawasan terpandang di Singapura Orchard Road, tepatnya Orchard Tower dimana beragam-ragam jenis hiburan malam terdapat disitu. Di depan pintu masuk para penerima tamu melambai-lambai. Sebagian klub mengenakan cover charge seharga 28 dollar Singapura, kira-kira Rp 150.000 sebagian lagi gratis. Kami lalu turun ke lantai dasar, disana terdapat beberapa buah bar Filipino. Raul ngajak ku masuk ke bar Peyton Place. Pelayan membawa kami ke sebuah meja bundar berkursi jangkung yang masih kosong di barisan tengah. Sebuah grup band bernama Jim Beam dari Filipiina tengah memainkan lagu-lagu berirama keras. Tiga orang penyanyi wanita berpakaian minim menari erotis dan vulgar. Tidak kerasan disitu aku mengajak Raul keluar.

Kami akhirnya pindah ke bar Blue Banana yang tidak jauh dari Peyton Place. Penyanyi di panggung memberi salam begitu kami melangkah masuk. Mereka terdiri dari dua orang laki-laki muda dan seorang gadis cantik berpakaian sopan. Interior bar itu bernuansa gelap dipadu dengan lampu-lampu gantung berwarna ungu berbentuk seludang tua yang hampir masak. Seludang tua itu berayun-ayun membiaskan cahaya temaram pada permukaan kulit orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya.

Kami duduk di kursi bagian depan, Raul langsung memesan minuman, ia membayar 36 dollar harga minuman itu. Rileks dan vakum beberapa sa’at, Raul kelihatan iseng sekali. Lagu sendu nan romantis berjudul ‘hello’ dikumandangkan diatas panggung. Raul hanyut dalam irama lagu itu. Dari arah belakang seorang gadis muda celingukan seperti mencari seseorang, Raul menyapa sekenanya “hello, is it me you’re looking for...?” (halo, aku kah yang kau cari...?), mengutip bait terakhir lagu Lionel Ritchie yang baru saja usai dinyanyikan. Pancingan itu mengena, gadis itu tersenyum mendekat kearahnya, sejurus kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan mengasyikkan. “Sorry ya, aku duluan...!” Raul meledekku.

Keki juga di ledek teman yang satu ini, tapi apa yang bisa kubuat. Aku hanya duduk sendiri, meratap sepi di tempat yang seramai ini. Lagu demi lagu telah dinyanyikan, pengunjungpun datang dan pergi silih berganti, namun tak seorang pun yang hirau pada ku. Bahkan Raul pun seperti sudah melupakan temannya ini, ia terlalu asyik dengan gadis yang baru dikenalnya itu. Ah! Aku jadi manyun sendiri. (Kasian deh lu!).

Sejurus kemudian, aku tersentak dari ratapan batinku itu. Seorang pelayan tiba-tiba melangkah ke arahku. Bagaikan magnit ia menyita seluruh perhatianku. Kedua kakinya yang indah melangkah jenjang diatas lantai pualam bar itu. Pandangannya redup dan bola matanya bundar menatap lurus kedepan. Ia mengibas-ngibaskan rambutnya yang tergerai lepas laksana mayang korma yang lembut lunak di belai angin gurun. Gaunnya sangat serasi, ia mengenakan baju panjang bercorak batik berbelah tinggi di pinggirnya. Kehalusan kulit gadis itu setara sutera lembut yang dikenakan orang-orang yang bertelekan diatas dipan yang dilapisi permadani berwarna hijau. Aku menoleh kesekeliling, mata-mata para pengunjung membelalak besar laksana burung hud hud menyaksikan ratu Balqis menyingsing tepi kainnya diatas pualam yang berkilau bening laksana air yang mengalir di dasar sungai.

Dadaku berguncang dahsyat, butir-butir peluh menyeruak dingin di kulit wajahku yang memucat. Kalaulah aku mewariskan sedikit saja kefasihan nabi Sulaiman dalam bertutur kata, tentu akan ku sapa Balqis dari Filipina ini dengan lemah lembut. Namun apa daya, rahangku serasa terkunci rapat oleh sebuah belenggu yang melingkar erat di kuduk ku. Suara ku tercekat di kerongkongan, lidahku keluh, pahit bagaikan menelan buah zaqqum yang tumbuhnya didasar jahanam. Kini pelayan itu semakin hampir kepadaku, kami hanya berjarak sejauh desahan nafas yang terlepas. Ia mengerlingkan mata indahnya kearahku. Kerlingan itu begitu menawan, alisnya tebal hitam laksana tongkol jagung kaum Madyan yang kebunnya terbakar di malam hari. Bulu matanyapun lentik lentur berbaris rata seperti benang sari putik-putik bunga surga yang belum dihinggapi lebah. Aku tidak akan berbantah-bantah tentang kecantikan gadis itu. Tidak seperti kaum Madyan yang bakhil dan serakah berbantah-bantah tentang kebun mereka. Dan tidak pula ingkar akan keindahan itu. Tidak seperti kaum ‘Ad maupun Tsamud penduduk lembah Hijr yang ingkar lagi menyombongkan diri didalam rumah-rumah yang mereka pahat diatas bukit batu. Aku takjub memandangnya, sebagaimana Adam takjub memandang Hawa di waktu pagi. Maka nikmat tuhan manakah yang kamu dustakan.......?

Gadis itu berlalu, aku hanya ternganga tak bersuara.

Ia menyambangi meja diseberangku. Seorang laki-laki tampan berpakaian mahal memanggilnya kesana. Mata sipit laki-laki itu memerah terkena pengaruh alkohol.

Beberapa pasangan melantai mesra di lantai dansa yang temaram. Pelayan-pelayan lain sibuk melayani para tetamu yang hanyut dalam suasana romantis malam itu. Bahkan beberapa diantaranya bergayut mesra dipangkuan para hidung belang yang menjejalkan tip tebal di kantong mereka.

Laki-laki tampan di seberang meja mengumbar kata-kata manis kepada pelayan yang bersikap santun itu. Ia mengulur beberapa lembar uang kertas dari dompetnya. Namun gadis itu menolaknya dengan sopan. Laki-laki itu kian geram, ia mengoceh tak menentu. Gadis itu mulai gamang ketakutan. Tiba-tiba, laki-laki tampan itu mencengkeram erat pergelangannya. Gadis itu meronta, ia berjinjit kebelakang dan berteriak minta tolong. Aku bangkit dari kursi yang kududuki, berlari keluar memanggil body guard yang berdiri di depan pintu. Dua orang laki-laki bertubuh tegap dengan tangkas membekuk laki-laki kurang ajar itu.

Laki-laki itu sudah dibawa keluar, suasana tenang kembali.

Pelayan tadi itu mendekatiku, aku mengeser ke kursi sebelah. “Maraming salamat” ia mengucapkan terima kasih pada ku. “Walang problema” tidak apa-apa, jawabku dalam bahasa Tagalog seadanya. “Kamustaka?” ia menanyakan kabar berbasa-basi. “Mabuti”, baik-baik saja jawabku lagi. “Anong pangalan mo....?”, kuberanikan diri menanyakan namanya. “Cheska” jawabnya pelan. “Anong gina gawa mo...?” Cheska menannyakan pekerjaan ku. “Lepas pantai” jawab ku. “Laut...?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Cheska terdiam sejenak, kemudian ia berkata-kata lagi dalam bahasa Tagalog yang tidak ku mengerti. “Aku orang Indonesia” aku menjelaskan kepadanya dalam bahasa Inggeris. “O, ma’af kukira kamu orang Filipina juga” jawab Cheska tersipu. Aku memperlihatkan pasporku padanya. Cheska menilik-niliknya sebentar, kemudian dengan santun ia minta diri padaku karena harus melayani tamu yang lain.

Pasangan Raul mendekatiku, ia bercerita tentang Cheska. “Gadis itu” katanya, “sangat spesial disini”. “Maksud mu?” tanyaku. “Ia adalah permata yang tersimpan didalam gelas. Bisa di pandang, tak bisa di pegang” ia berandai-andai. “Kok gadis bar bisa begitu?” tanyaku penasaran. “Dia memang lain....” katanya lagi membuatku makin penasaran. “Lainnya...?”. “Dia mempunyai prinsip yang teguh!”. “Prinsip yang teguh?” tanyaku seolah pada diri sendiri. “Dia mahasiswi sebuah politehnik disini” pasangan Raul menjelaskan lagi. “Apa hubungannya mahasiswi dengan sentuh-sentuhan?” tanyaku bodoh. “Tanya sendiri sama dia !!!” pasangan Raul bosan meladeniku.

Menutupi perasaan malu akan kebodohan diri sendiri, lagi-lagi pandangan ku menyapu dekorasi gelap di dalam bar itu. Cheska sibuk mengantarkan minuman dari meja yang satu ke meja yang lain. Ia anggun, bersahaja dan cekatan dalam mengerjakan tugasnya. Ia berdiri dibawah lampu-lampu gantung yang berbentuk sabit itu. Aku menguap beberapa kali, hari menjelang tengah malam, mataku mulai mengantuk. Cahaya lampu di langit-langit tidak lagi ungu dan temaram dimataku kini, tetapi bersinar kemilau di permukaan kulit Cheska yang berdiri tepat dibawahnya. Pantulan cahaya itu begitu terang laksana pelita yang memancar dari celah dinding dimalam hari. Pelita itu berada di dalam gelas. Gelas itu bening, terang benderang seperti bintang yang berkilau. Pelita itu dinyalakan oleh minyak yang berkilau pula. Ia memantulkan cahaya meskipun belum dimakan api. Ia adalah minyak yang terbuat dari buah pepohonan yang diberkati, ia tidak tumbuh di timur dan tidak pula di barat, tetapi pohon zaitun yang tumbuh di bukit Thur Saina.

Aku terperangkap dalam pesona dan kharisma Cheska yang ia pancarkan padaku. Ku tundukkan wajah tatkala ia mendapatkan aku memperhatikannya dari kejauhan. Ia melemparkan sebuah senyum tipis di ujung bibir. Aku tercagak. Aku menemukan keagungan sebuah pribadi yang sempurna di sudut senyuman itu. Beribu-ribu pertanyaan menyemburat dari lubuk hatiku kini. Siapakah permata yang berkilauan ini? Aku mencoba menerka-nerka. Kalau berasal dari daratan ia mestilah zamrud ataupun safir yang mahal harganya, batinku. Bukan, pikiran keduaku menyangkal. Ia mesti berasal dari lautan.
*
Hari-hari ku kembali sibuk dengan urusan pekerjaan. Waktu ku sempit sekali untuk dapat menemui gadis yang telah merasuk kedalam alam bawah sadar ku ini. Hanya hubungan telepon dan sms yang mempereratkan persahabatan kami. ‘Datanglah, aku akan bercertita padamu’ pesannya suatu minggu pagi. Kami lantas bertemu di stasiun MRT City Hall, dibawah hotel Raffles yang menjulang tinggi itu. Masuk ke penyeberangan bawah tanah, keluar di pelataran hotel Marina. Menyeberang lagi, melintasi Esplanade gedung pertunjukan yang berbentuk durian, kami lantas menyusuri pantai Marina yang ramai orang memancing.

“Ceritakanlah!” pintaku, ketika Cheska terdiam memandang jauh ke lautan. Gadis itu kian mematung. Wajahnya yang putih bersih berubah menjadi merah. “Kenapa?” aku membimbingnya duduk disebuah bangku panjang di taman pantai itu.

“Aku telah kehilangan segalanya” katanya memulai. “Apa..?” tanyaku ingin tahu. “Laut itu telah mengambil segalanya”. “Mengambil apa....?” tanyaku. Cheska bercerita. “Pagi itu, ayah, ibu dan aku pergi ke tengah laut mencari tiram”. “Di pantai timur pulau Mindanao, Filipina Selatan” Ia menjelaskan. “Tengah hari mesin perahu rusak, ayah tidak dapat membetulkannya. Angin menghanyutkan kami ke lautan Pasifik” Cheska diam lagi. “Dan...dan....!” ia tersendat. “Dan apa??” tanyaku penasaran. “Badai itu datang...perahu kami terbalik, kami terlampar, ayah, ibu hilang ditelan gelombang” Cheska berurai airmata tak tertahankan. “Bagaimana kau bisa selamat?” tanyaku padanya, ketika Cheska sudah menguasai diri. “Aku melihat sinar yang kemerlap” katanya. “Sinar???” tanyaku lagi. “Ia, sinar!!” jawabnya. “Sinar apa itu?” tanyaku lagi. “Sinar yang memancar dari kuduk ikan lumba-lumba yang mendorong ku hingga ke pantai” Cheska menerawang jauh. “Kemudian...?” tanyaku. “Dan seorang nelayan menemukanku” jawab Cheska. “Lantas....?” tanyaku. “Aku di angkat menjadi anaknya, disekolahkannya hingga sa’at ini”.

Hatiku luruh mendengar pengalaman pahit gadis cantik yang duduk disamping ku ini. “Kok kamu bisa sampai ke Singapura dan bekerja di bar itu?” selidikku ingin tahu. “Aku mendapat bea siswa di sebuah politehnik di negeri ini” jawabnya. “Kerja di bar itu untuk tambahan biaya kuliahku saja” imbuhnya pelan. “Tidak ada pekerjaan lain?” tanya kulagi. “Belum dapat, masih mencari-cari” jawab Cheska sendu.

Terkenang lirikan manisnya malam itu, senyumnya yang tersungging di ujung bibir, serta perhatiannya padaku, membersitkan sebuah harapan di lubuk hati ini. Aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Namun sebelum aku sempat merangkai kata. Seolah membaca pikiranku Cheska mendahului ku. “Bolehkan kalau aku berterus terang padamu?” tanyanya lemah lembut. “Maksudmu?” tanyaku dag dig dug. “Ingatkan malam itu aku mendekati meja mu?”. “Ya, aku ingat” jawabku. “Aku melirik kepadamu. Tapi kau menundukkan muka” sambungnya lagi. “Ya!” jawab ku lagi. “Sesungguhnya...” katanya terputus membuat hatiku kian berbuncah.. “Sesungguhnya apa?” aku ingin segera mendengar kata-kata itu. “Sesungguhnya, aku menyukaimu...!!!” tandas Cheska tegas. Wow! Pucuk dicinta ulam tiba batinku, aku bersorak sorai dalam hati. Namun belumlah usai kegembiraanku, Cheska menambahkan lagi. “Aku menyukaimu, tetapi....,,,,,,,,,” Ia berhenti disitu meninggalkan koma panjang yang tak tertutup. “Tetapi apa?” tanyaku. “Nanti kusambung lagi” katanya membuatku penasaran. “Kok begitu ...?” tanya ku. “Karena ceritaku belum habis kepadamu” jawab Cheska. “Teruskan kalau begitu” aku mempersilakannya.

Cheska melanjutkan ceritanya. “Orangtua angkat ku itu adalah keluarga muslim yang ta’at. Aku dibesar dan didiknya dengan nilai-nilai agama yang kuat” katanya datar. Oh! Pantas, aku mengingat-ingat. “Aku adalah seorang muslimah” lanjutnya mantap. Hatiku merasa bangga kepada gadis ini. Teringat pasangan Raul malam itu, aku menambahkan, “sesungguhnya kau adalah seorang muslimah yang memegang prinsip yang teguh”. Cheska tersipu. “Ah, aku hanya seorang gadis bar biasa” katanya pelan. Hati kecil ku berkata, tidak! Kau adalah gadis bar yang luar biasa.

Aku menatap kearahnya penuh penantian, koma panjang tadi belum lagi tersambung. Cheska bercerita kembali. “Kejadian itu sepuluh tahun yang lalu, aku baru berumur sembilan tahun. Hari libur, jadi aku ikut ayah dan ibu melaut. Aku senang ikut kelaut, karena aku suka melihat lumba-lumba yang susul menyusul” Cheska mengenang masa kecilnya. “Ibu ku masih muda kala itu” ia melanjutkan. “Dan ayahku.....” ia berhenti, menatapku tak berkedip. “Kira-kira seusia dengan mu sa’at ini” katanya kemudian. Lalu, diluar dugaanku ia kemudian bangkit dari kursi taman itu dan berdiri tepat didepan ku. “Dan...dan...” ia mulai lagi. “Dan apa..?” tanya ku tak mengerti. “Wajahnya mirip dengan mu” sembari tak melepaskan pandangannya dari wajahku. Oh! Aku tersedak, pantas, pantas, pantas....aku mengingat berkali-kali. Suasana hatiku kini berubah-rubah tak menentu, perasaan bahagia dan kecewa berpadu jadi satu.

“Makanya, aku menyukaimu tetapi......“ katanya terputus. “Tetapi apa ?” tanyaku lagi-lagi bodoh. “Tetapi, aku menyukaimu seperti aku menyukai almarhum ayah ku, daddy!!!!” sergahnya tegas dan manja. Lantas, dari dalam tasnya ia mengeluarkan telepon genggam yang ia tempelkan ketelinga ku. Lagu selamat ulang tahun berkumandang dari handphone itu. Sejenak aku tertegun, ya, hari ini ulang tahun ku yang ke 40. Aku sudah tua.

Menjelang senja, kami beranjak dari kursi taman itu. Gedung-gedung bertingkat memancarkan lampu-lampu gemerlap berwarna-warni. Aku meminta Cheska berdiri di depan simbol kota Singapura, yaitu patung singa yang menyemburkan air dari mulutnya itu. Ku tekan tombol kamera digital yang berada ditanganku, semburat cahaya memancar deras dari blitz kamera itu, ia memantul tajam di permukaan kulit Cheska yang berkilau bak mutiara.

Tak percaya apa yang ku lihat. Aku membidik kamera dan menekan tombol sekali lagi. Klik!.., mataku menjadi silau tak tertahankan, cahaya memancar diatas cahaya, terang bersinar diatas terang. Kulit Cheska kembali benderang memancarkan kilau mutiara.

Aku menerawang awan berarak di atas langit Singapura, mencari-cari dan bertanya-tanya. Alam bawah sadar ku lantas berkata, bahwa cahaya itu benar-benar berasal dari sebutir mutiara. Namun ia bukanlah mutiara biasa, tetapi ibu segala mutiara yang berada ditempat yang terjaga lagi terpelihara. Ia berada jauh di dasar lautan, di dalam Tiram yang tersembunyi. (Samudera Hindia, 05 Mei 2006).
****

0 Responses So far

Post a Comment

Label Cloud